Tulisan ini dimaksudkan bukan untuk memberitahu anda mana yang etis atau tidak, tetapi untuk membantu kita menentukan bagi kita sendiri dengan cara yang lebih baik, apa itu etis dan tidak etis.
Jadi, apa itu etis?
Jawaban singkatnya, sayangnya tidak ada. Tidak ada atran mutlak apa itu etis dan tidak etis.
Definisi yang ada selama ini memang dibuat untuk lebih memdahkan pemahaman.
Definisi yang sederhana dan umum dipakai untuk kata etis adalah 'fair' atau 'adil', dalam pengertian yang luas. Ini tentu bukan definisi ilmiah yang baku, tetapi sebagaimana akan jelas nanti, bahwa akan sangat sulit mendefinisikannya secara ilmiah dan pasti tentang etis itu.
Contohnya, Undang-undang Perlindungan Konsumen Inggris yang efektif berlaku sejak 6 Mei 2008, dimana para pebisnis harus memperhatikan akibat dari peratran baru itu kalau hendak menjual produk atau jasa kepada konsumen. Sebelumnya cara-cara yang dipakai sudah dianggap (tetapi hanya sekedar) tidak etis, tetapi sekarang sudah dijadikan ilegal.
Definisi menurut English Dictionary menyebutkan:"Ethical - Relating to moral principles or the branch of knowledge dealing with these..."
Yang menarik, definisi itu dilengkapi dengan contoh:"...Benar secara moral: Dapatkah bisnis yang menguntungkan bisa etis?
Moral atau moralitas biasanya muncul dalam upaya merumuskan pengertian etis. Moralitas itu sendiri didefinisikan oleh Oxford English Dictionary sebagai ".... prinsip-prinsip yang berhubungan dengan pembedaan antara benar dan salah atau perilaku baik dan buruk ....," Jelas terlihat definisi tersebut tidak iliah dan pasti.
Bagusnya, kamus tersebut membantu dengan memberikan penjelasan tambahan tentang etika, yang rangkmannya begini:
Filosofi etika di dunia Barat secara umum dapat dibagi menjadi 3 tipe:
- Kebaikan (virtue) seperti keadilan, kedermawanan dankemurahan hati yang memberi mafaat bagi yang bersangkutan dan masyarakat sekitarnya. (Berdasarkan ide Aristoteles)
- Etika adalah pusat dari moralitas - tugas manusia - berdasarkan pada rasa hormat dari orang-orang yang rasional terhadap orang yang rasional. (Ini didukung oleh Kant)
- Prinsip yang menjadi panduan, didasarkan pada tindakan yang menghasilkan kebahagiaan terbesar atau manfaat bagi orang banyak, (Ini merefer pada utilitarianisme)
Jelas kan, kalau memang sulit mendefinisikan etis secara pasti.
Ok, dalam hal yang praktis, diluar apa yang diliputi oleh hukum atau standar-standar yang lain, sesuatu itu dikatakan etis atau tidak oleh masyarakat (media, pasar, pelanggan, dll), biasanya adalah opini secara umum. Sama seperti halnya moralitas. Kedua konsep itu - etika dan moralitas - sangat subyektif dan merupakan refleksi suatu masyarakat dan budaya, dan tentu saja dapat berubah pengertiannya sejalan dengan waktu dan situasi.
Isu atas etika tertentu saat ini ada yang sudah dimasukkan ke dalam peraturan dan perundangan. Dalah hal seperti itu, etika menjadi pasti (lihat kasus di Inggris diatas).
Etika yang tidak diatur oleh undang-undang biasanya menjadi persoalan pertimbangan, khususnya oleh alasan mayoritas, artinyamayoritas orang (secara siknifinan) memandang atau menentukan apakah sesuatu itu etis atau tidak.
Dalam keidupan atau dunia pekerjaan, opini -terutama dalam skala besar- akan lebih menentukan dari pada aturan atau hukum, khususnya dalam hubungannya dengan pasar, publisitas, dan sikap masyarakat, yang berwujud dala perlaku pelanggan dan karyawan.
Misalnya, secara hukum adalah pelanggaran kalau mengendarai mobil agak sedikit lebih cepat dari batas kecepatan, tetapi kebanyakan orang melihatnya sebagai dapat diterima, jadi ok-lah (lihat saja di jalan tol kita). Contoh lain adalah maling diamuk massa, sepeda motor jalan seenaknya, dll.
Jadi, tapaknya sikap masyarakat lebih berkuasa daripada hukum. Hukum adalah refleksi dari sikap dan toleransi publik, bukan sebagai akibat darinya.
Jadi jangan sekali-kali menganggap remeh pentingnya pertimbangan etika karena ia dapat secara subyektif menentukan atau menghakimi, dan sulit memastikannya secara hukum. Opini publik adalah hukuman paling keras yang tak terampuni.
Ok, dalam hal yang praktis, diluar apa yang diliputi oleh hukum atau standar-standar yang lain, sesuatu itu dikatakan etis atau tidak oleh masyarakat (media, pasar, pelanggan, dll), biasanya adalah opini secara umum. Sama seperti halnya moralitas. Kedua konsep itu - etika dan moralitas - sangat subyektif dan merupakan refleksi suatu masyarakat dan budaya, dan tentu saja dapat berubah pengertiannya sejalan dengan waktu dan situasi.
Isu atas etika tertentu saat ini ada yang sudah dimasukkan ke dalam peraturan dan perundangan. Dalah hal seperti itu, etika menjadi pasti (lihat kasus di Inggris diatas).
Etika yang tidak diatur oleh undang-undang biasanya menjadi persoalan pertimbangan, khususnya oleh alasan mayoritas, artinyamayoritas orang (secara siknifinan) memandang atau menentukan apakah sesuatu itu etis atau tidak.
Dalam keidupan atau dunia pekerjaan, opini -terutama dalam skala besar- akan lebih menentukan dari pada aturan atau hukum, khususnya dalam hubungannya dengan pasar, publisitas, dan sikap masyarakat, yang berwujud dala perlaku pelanggan dan karyawan.
Misalnya, secara hukum adalah pelanggaran kalau mengendarai mobil agak sedikit lebih cepat dari batas kecepatan, tetapi kebanyakan orang melihatnya sebagai dapat diterima, jadi ok-lah (lihat saja di jalan tol kita). Contoh lain adalah maling diamuk massa, sepeda motor jalan seenaknya, dll.
Jadi, tapaknya sikap masyarakat lebih berkuasa daripada hukum. Hukum adalah refleksi dari sikap dan toleransi publik, bukan sebagai akibat darinya.
Jadi jangan sekali-kali menganggap remeh pentingnya pertimbangan etika karena ia dapat secara subyektif menentukan atau menghakimi, dan sulit memastikannya secara hukum. Opini publik adalah hukuman paling keras yang tak terampuni.
No comments:
Post a Comment